Kariyasa : Kalau Sudah Tidak Mampu Urus BPJS, Lebih Baik Mundur Saja!


Rapat antara Komisi IX DPR, pemerintah, BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional yang digelar hari ini, Senin (20/1) dihujani interupsi dari anggota DPR. DPR kesal lantaran mendapat informasi bahwa BPJS Kesehatan tak dapat diintervensi Kementerian/Lembaga kecuali atas penugasan khusus dari presiden.

Adapun rapat tersebut membahas permintaan Komisi IX yang tak ingin iuran peserta mandiri kelas 3 ikut naik. Rapat diawali oleh paparan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terkait kondisi BPJS Kesehatan. Namun di tengah paparan, sejumlah anggota DPR tiba-tiba mengajukan interupsi.

DPR mempertanyakan informasi dalam bahan paparan Menkes yang menyebutkan bahwa hubungan BPJS Kesehatan dengan kementerian/lembaga bersifat kemitraan, koordinatif, dan konsultatif. Dengan demikian, BPJS Kesehatan tak dapat diintervensi oleh kementerian/lembaga lain, kecuali terdapat penugasan khusus dari presiden.

Membaca informasi tersebut, sejumlah anggota Komisi IX DPR protes keras. Beberapa di antaranya bahkan meminta Direktur Utama Fachmi Idris untuk mundur dari jabatannya.

"Saya kaget mendengar alasan menteri tidak bisa mengintervensi BPJS Kesehatan, hanya presiden. Lebih baik kita hentikan rapat," kata Anggota Komisi IX DPR Anwar Hafid.

Anwar merasa wibawanya sebagai anggota dewan jatuh akibat pernyataan tersebut. Menurut dia, pemerintah bagaimana pun harus dapat menerima solusi dari DPR.

Anggota Komisi IX DPR I Ketut Kariyasa Adnyana menilai BPJS Kesehatan bukan lembaga independen, melainkan salah satu perangkat pemerintah yang tetap harus diawasi DPR. Ia juga menyebut kepengurusan BPJS Kesehatan saat ini tak transparan dan kurang baik.

"Kalau tidak mampu lagi urus BPJS Kesehatan, mundur saja," ucap I Ketut.

Menanggapi pertanyaan DPR terkait batasan intervensi, Fachmi menjelaskan informasi tersebut memang tercantum dalam boklet BPJS Kesehatan. Namun, menurut dia, pernyataan bahwa BPJS Kesehatan tak dapat diintervensi oleh Kementerian/Lembaga, kecuali atas penugasan presiden merupakan pendapat pakar.

"Boklet ini memang diterbitkan oleh kami karena banyak masyarakat yang bertanya soal struktur BPJS Kesehatan. Nah, sebenarnya yang tertulis ini adalah pendapat pakar, buku ini pendapat pribadi pakar," ungkap Fachmi.

Rapat ini sebenarnya merupakan rapat lanjutan yang digelar pada bulan lalu. Kala itu, Terawan mengusulkan agar kenaikan iuran peserta mandiri kelas 3 dapat disubsidi dengan menggunakan surplus BPJS Kesehatan atas seluruh kenaikan iuran peserta.

Namun dalam rapat tersebut, Terawan mengatakan tak lagi punya solusi terkait masalah tersebut merujuk pada batasan intervensi. "Saya berani bilang kalau saya sudah tidak punya solusi, peluang ada di BPJS Kesehatan," ujar Terawan.

Akibat perdebatan panjang terkait batasan intervensi BPJS Kesehatan, rapat yang seharusnya membahas kenaikan iuran peserta mandiri kelas 3 ini berakhir tanpa keputusan berarti. Namun, seluruh anggota Komisi IX DPR sepakat tetap satu suara menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas 3.

Pihak-pihak yang hadir juga sepakat untuk melanjutkan rapat pada masa persidangan II tahun 2019-2020.

Pemerintah resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri mulai 1 Januari 2020. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo dan diundangkan pada 24 Oktober 2019.

Dalam aturan tersebut, kenaikan paling signifikan terjadi pada jenis kepesertaan mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 naik dua kali lipat dari semula Rp 80 ribu dan Rp 55 ribu menjadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu. Sementara iuran peserta kelas 3, naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.

Post a Comment

Previous Post Next Post