Tradisi Meboros Kidang di Desa Busungbiu, Buleleng. Kariyasa : Sudah Ada Sejak Tahun 1500-an



Anggota DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan, Dapil Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana, SP di sela - sela kegiatan sebagai Anggota DPR RI, tetap dapat berpartisipasi dalam kegiatan meboros yang merupakan tradisi di Desa Busungbiu menjelang Pujawali. (07/10/2022)

"Bersama masyarakat di Desa Busungbiu dan sebagai masyarakat Saya ingin turut melestarikan tradisi yang unik dimiliki khususnya di Desa Busungbiu yang merupakan Desa kelahiran", ujar Kariyasa.

Awal mula munculnya tradisi meboros yang dilakukan oleh masyarakat desa Busungbiu berawal dari keberhasilan Desa Busungbiu membangun Pura Puseh Desa.

Diceritakan kedatangan Gusti Patih Cili Ularan yang diiringi oleh 200 pasukan beliau dan 2 (dua) orang penasehat, dari Suweca Pura menuju Tabanan tepatnya di Wong Ayu lalu ke Pucak Kedaton Watukaru. Setelah kurang sekian lama mengembara Gusti Patih Cili Ularan sampai di sebuah tempat yang bernama Gedang Janur atau Busungbiu pada saat ini.

Beliau bertemu dengan pimpinan desa yang pada saat itu dipimpin oleh Gede Mariada dan seorang tokoh agama Ida Pranda Sakti Sinuhun. Kedatangan beliau sangat diterima di desa Gedang Janur, pada saat itu Gusti Cili Ularan Hanya di dampingi 66 prajuritnya saja.

"Dari latar belakang itulah mulai tergugah untuk membangun Pura Puseh desa, yang pada saat itu desa busungbiu masih kecil dan dihuni beberapa orang saja. Setelah Gusti Patih Cili Ularan menetap di Gedang Janur, mulailah beliau membangun pura puseh desa dimana tokoh agama pada saat itu Ida Pranda Sakti Sinuhun akan memberikan I Bulu Pangi (kijang) sebagai sarana upacara.", Ujar Kariyasa.

Pada saat rahina pernamaning kapat penanggalan Bali tepatnya sekitar tahun 1500, upacara piodalan pertama dilaksanakan dan menggunakan sarana kijang sebagai sesajen upacara. Semenjak saat itulah masyarakat selalu menggunakan kijang sebagai sarana upacara dan melaksanakan tradisi meboros untuk mendapatkan hewan kijang.

Banyak makna yang terkandung dalam cerita awal mula pelaksanaan tradisi meboros diantaranya sebagai penanggalan untuk memperingati awal mula berdirinya Pura Puseh desa Busungbiu serta sebagai pegangan masyarakat desa Busungbiu untuk mempertahankan keberadaan tradisi meboros.

Dalam pelaksanaan tradisi ini sudah barang tentu ada langkah-langkah yang akan dilalui, mulai dari awal hingga pelaksanaan meboros ini dilaksanakan.

Diawali Sangkepan Tegak Nem

Hal yang pertama yang dilakukan adalah para pimpinan desa dan Tegak Nem Dasa Nem (tegak 66) yang merupakan keturunan dari prajurit yang menemani Gusti Patih Cili Ularan yang datang ke Busungbiu melakukan paruman atau musyawarah bersama. Bertempat di salah satu tempat di pura puseh desa yaitu Bale lantang.

Setelah terjadi kesepakatan mengenai kapat tepatnya pelaksanaan meboros ini dilaksanakan para pemimpin desa menyampaikan kepada warga desa Busungbiu. Sehari sebelum pelaksanaan tradisi meboros, warga desa beserta pimpinan desa wajib melaksanakan upacara Ngajit atau sering disebut Ngancuk Bintang.

Kegiatan ini bertujuan untuk memohon restu kepada Leluhur agar diberikan kemudahan dalam pelaksanaan meboros dan juga mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Upacara ini berlangsung tepat pukul 00.00 wita atau 12.00 tengah malam.

Nilai yang terkandung dalam langkah-langkah pelaksanaan tradisi meboros yaitu : Salah satu ritual penting selain sembahyang bersama yaitu tarian yang dilakukan oleh daratan / orang yang sedang kesurupan. dari tarian itu diharapkan adanya petunjuk mengenai pelaksanaan meboros yang akan dilaksanakan keesokan harinya.

Tepat pukul 06.00 masyarakat kaum pria harus sudah kumpul di pura puseh desa untuk melakukan persembahyangan bersama sebelum berangkat melakukan perburuan, dan para pemangku / tokoh agama memohon restu di pura puseh desa Angsa yang dijadikan tempat berburu.

Banten / sesajen yang digunakan sedikit berbeda, biasanya dalam sarana banten layaknya mengunakan buah dan hiasan bunga, namun dalam sesajen dalam meboros yang digunakan selain buah dan hiasan bunga atau canang juga menggunakan layang-layang, gangsing, dan kelereng sebagai sarana upacara. Itu merupakan simbol pelaksanaan tradisi meboros, Layang-layang dijadikan sebagai lambang keseimbangan dalam pelaksanaan meboros, gangsing dijadikan simbol bahwa pelaksanaan meboros memiliki tujuan yang pasti atau memiliki tujuan bersama dan kelereng dijadikan simbol kebulatan tekat dalam melaksanakan kegiatan meboros. Kebartahanan tradisi meboros ini perlu dilestarikan agar tradisi ini tidak mengalami kemunduran dalam pelaksanaannya dan menjaga dari kepunahan dan bisa dilaksanakan hingga jangka waktu yang lama di kemudian hari.

"Hal ini dianggap penting karena tradisi ini merupakan rangkaian dari pelaksanaan upacara keagamaan dalam hal ini upacara Dewa Yadnya. Jika tradisi ini hilang maka akan mengalami kendala dalam pelakdanaan upacara Dewa Yadnya di Pura Puseh Desa Busungbiu.", tutup Kariyasa.

Post a Comment

Previous Post Next Post